Jakarta – Peredaran barang palsu di pasar Indonesia terus menjadi perhatian serius pemerintah, khususnya dalam melindungi hak kekayaan intelektual (KI) dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Direktur Penegakan Hukum, Kombes Pol. Arie Ardian Rishadi, menegaskan bahwa upaya mengenali barang palsu membutuhkan peran aktif pemilik KI, ahli, dan masyarakat luas.
Kombes Arie mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap barang palsu. Salah satu indikasi awal adalah harga barang yang jauh lebih murah dibandingkan harga pasaran produk asli. “Selain itu, upayakan membeli produk di gerai resmi untuk memastikan keaslian barang,” ujar Arie.
Barang palsu juga mudah dibedakan dari segi kualitasnya. Barang original tentu saja memiliki kualitas yang baik dan sudah dikontrol untuk menjaga reputasi produk. Namun, produk yang biasanya disebut KW, punya kualitas yang tidak jelas dan lebih buruk dari barang original.
"Biasanya finishing produk asli mulai dari kualitas sampai peletakan logo dan desainnya sangat presisi karena sudah melalui quality control. Sementara produk bajakan, misalnya di buku, warnanya lebih kusam, spasinya miring atau tidak rapi, dan bahkan kertasnya buram," tambah Arie.
Arie juga mencontohkan pembelian produk mewah seperti tas branded yang biasanya memiliki dokumen atau sertifikat. Arie meminta masyarakat lebih jeli dalam melihat dokumen tersebut untuk memastikan barang tersebut memang original. Dalam dokumen tersebut biasanya ada nomor seri yang cocok dengan nomor seri yang diberikan oleh produsen.
Untuk mencermati produk yang dibeli melalui internet, masyarakat perlu melihat testimoni atau review pembeli lainnya kepada penjual. Sangat rawan untuk membeli produk yang belum ada review sebelumnya, maka perlu kehati-hatian dalam membeli barang di penjual tersebut.
Namun, pihaknya mengakui memang ada beberapa jenis produk yang memerlukan uji lab atau pengamatan khusus untuk menilainya sebagai barang asli atau KW. Di sinilah DJKI membutuhkan peran serta aktif para pihak untuk membantu DJKI.
"Yang paling tahu apakah suatu barang dilaporkan palsu atau tidak adalah pemilik KI yang mengajukan pengaduan. Mereka memahami detail produk yang mereka produksi," ujar Kombes Pol. Arie. "Namun, dalam beberapa kasus, pemeriksaan forensik laboratorium tetap diperlukan untuk menentukan keaslian produk. Misalnya, pada kasus oli palsu, selain keterangan pelapor, harus didukung oleh ahli forensik dari Kementerian Energi, Sumber Daya Mineral. Begitu pula untuk kasus terkait teknologi informasi (IT), membutuhkan keterangan ahli IT."
Ia juga menyoroti pentingnya kerja sama antara pemerintah dan pemilik merek dalam edukasi masyarakat. Sebagai contoh, pemilik merek Lacoste pernah menggagas kerja sama untuk mensosialisasikan cara membedakan produk asli dan palsu. Sosialisasi ini diharapkan dapat membantu masyarakat menjadi lebih cerdas dan kritis dalam berbelanja.
Barang palsu tidak hanya merugikan pemilik hak kekayaan intelektual secara ekonomi, tetapi juga dapat membahayakan keselamatan konsumen. Produk-produk seperti makanan, obat-obatan, kosmetik, dan komponen otomotif palsu sering kali tidak memenuhi standar keamanan yang berlaku.
Untuk memastikan perlindungan maksimal terhadap hak KI dan konsumen, Kombes Arie juga mengimbau masyarakat untuk aktif melaporkan dugaan barang palsu kepada pihak berwenang. Dengan demikian, tindakan hukum yang tegas dapat dilakukan terhadap pelaku peredaran barang ilegal ini.
"Dengan kolaborasi yang baik antara pemilik KI, pemerintah, dan masyarakat, kita bisa bersama-sama memberantas peredaran barang palsu dan menciptakan pasar yang lebih sehat," tutup Kombes Arie.
Untuk informasi lebih lanjut atau pelaporan barang palsu, masyarakat dapat menghubungi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual melalui kanal layanan resmi yang tersedia.